Kasus Mega Korupsi 3000 Triliun

Kasus Mega Korupsi 3000 Triliun

Awal Mula Masalah Keuangan

Pada tahun 2024, Jiwasraya mencatatkan insolvency mencapai Rp 2,769 triliun akibat cadangan yang lebih kecil dari seharusnya. Pada tahun 2006-2007, ekuitas Jiwasraya tercatat negatif sebesar Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban.

Laporan keuangan perusahaan tersebut kemudian mendapatkan opini disclaimer dari BPK untuk tahun 2006 dan 2007 karena ketidakpastian informasi cadangan. Defisit semakin membengkak pada tahun 2008 hingga mencapai Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun di 2009, yang memaksa perusahaan melakukan langkah penyelamatan melalui skema re-asuransi.

Pada tahun 2015, hasil audit BPK menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pelaporan aset investasi keuangan. Singkat cerita karena tak kunjung membaik, pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya secara resmi mengumumkan ketidakmampuannya membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.

Pada tahun 2019, Jiwasraya mengumumkan ekuitas negatif sebesar Rp 27,24 triliun. Kewajiban polis JS Saving Plan yang bermasalah tercatat mencapai Rp 15,75 triliun.

Usai pengusutan pihak berwajib, terungkap bahwa Jiwasraya terlilit kasus mega korupsi yang menyangkut Benny Tjokrosaputro (Bentjok). Pada 2021, Bentjok divonis penjara seumur hidup karena terbukti melakukan salah pengelolaan dana investasi dari produk JS Saving Plan dengn kerugian negara mencapai Rp16 triliun.

Secara sederhana, dalam kasus Jiwasraya, modus yang dilakukan Heru dan komplotannya adalah dengan manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan, tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi. Heru-Bentjok dkk pun melakukan aksi manipulasi saham tersebut menggunakan uang yang berasal dari Jiwasraya.

Restrukturisasi ke IFG

Seiring dengan pengusutan kasus Bentjok, pada tahun 2021 pula, Kementerian BUMN mulai melakukan restrukturisasi bagi pemegang polis ritel Jiwasraya ke perusahaan asuransi baru, yakni IFG Life. Sementara program restrukturisasi ini pun akhirnya berakhir pada 31 Desember 2023.

Per akhir tahun 2023 diketahui, program Restrukturisasi Jiwasraya telah diikuti oleh 99,7% pemegang polis dari seluruh pemegang polis Jiwasraya. Bila dirinci, 6.327 polis dari kategori korporasi, 291.071 polis dari kategori ritel, dan 17.339 polis dari kategori bancassurance.

Usai restrukturisasi rampung, pada Juni 2024, Otoritas OJK meminta Jiwasraya untuk menyampaikan rencana berikutnya untuk pemberesan Perseroan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meski demikian, hingga saat ini belum ada pernyataan khusus terkait pembubaran atau likuidasi Jiwasraya.

Video: Efek Anjloknya Daya Beli, Penyaluran Kredit Multifinance Turun

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus mega korupsi besar-besaran lambat laun mulai terungkap belakangan ini. Salam lima tahun terakhir ada tiga kasus korupsi terbesar yang merugikan negara. Tak main-main, total kerugian negara yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab tersebut nyaris menyaingi dana yang diselewengkan banyak pihak dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) nyaris seperempat abad lalu. Kasus BLBI terjadi kala krisis moneter 1998.

Adapun tiga kasus korupsi terbesar RI diantaranya, Surya Darmadi dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 78 triliun, lalu mega korupsi Asabri dengan nilai Rp 23 triliun. Selain itu, ada pula Jiwasraya dengan kerugian negara masing-masing Rp 17 triliun.

Secara total ketiga kasus tersebut membuat negara rugi hingga Rp 118 triliun. Angka tersebut sedikit lebih kecil dari kerugian negara akibat penyelewengan dana BLBI yang mencapai Rp 138 triliun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000.

Kasus BLBI sendiri dimulai pada Desember 1998, ketika Bank Indonesia menyalurkan dana bantuan Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Saat ini pemerintah masih berupaya memulihkan kerugian dengan memburu aset-aset yang dimiliki obligor BLBI.

Meski demikian upaya tersebut masih kurang maksimal dengan satgas BLBI baru menyita aset senilai sejumlah Rp 20,67 triliun dari obligor dan debitur BLBI hingga tengah tahun ini. Angka ini masih jauh dari target nilai aset eks BLBI yang diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun berdasarkan data dari Lembaga Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Selain penyelewengan dana BLBI yang kasusnya menjerat banyak pihak, berikut adalah tiga kasus mega korupsi terbesar di Indonesia.

Surya Darmadi Rp 78 Triliun

Bos Produsen minyak goreng merek Palma, Surya Darmadi, awal bulan ini resmi ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp 78 triliun.

Surya Darmadi merupakan pemilik dari pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma yang merupakan produsen minyak goreng merek Palma. Surya bersama Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008 Raja Thamsir Rachman terjerat kasus korupsi dalam Kegiatan Pelaksanaan yang dilakukan oleh PT. Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan kerugian negara tersebut timbul akibat penyalahgunaan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di Kawasan Indragiri Hulu atas lahan seluas 37.095 hektare.

Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara yang menjerat eks Gubernur Riau Annas Maamun dan kawan-kawan yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan suap alih fungsi lahan pada September 2014. Akhir bulan lalu, Mejelis Hakim Tipikor di Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis Annas 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Memecahkan rekor korupsi dengan nilai terbesar sepanjang sejarah, Surya Darmadi tentu bukan pengusaha kroco.

Dirinya bahkan sempat tercatat sebagai orang terkaya ke-28 di Indonesia versi majalah Forbes tahun 2018 dengan kekayaan Rp20,73 triliun ini diduga menyuap Annas Maamun dengan uang Rp3 miliar untuk mengubah lokasi perkebunan milik PT Duta Palma menjadi bukan kawasan hutan.

Saat ini Surya Darmadi telah kembali ke Indonesia dari sebelumnya berada di Taiwan dan harus mendekam selama 20 hari di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, terhitung sejak 15 Agustus hingga 3 September 2022 untuk menjalani penyelidikan lanjutan.

Kejaksaan Agung tengah memeriksa tiga orang saksi yang terkait dalam perkara PT Duta Palma Group. Ketiga orang saksi yang diperiksa yaitu, HH selaku Marketing Supervisor PT Wanamitra Permai. Saksi kedua, yaitu AD selaku Direktur PT Wanamitra Permai dan saksi ketiga, yaitu TTG selaku Direktur PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, dan PT Seberida Subur.

Kasus dugaan korupsi PT Asabri telah menyeret sejumlah nama besar di pasar modal. Skandal korupsi tersebut diduga telah merugikan negara hingga Rp 23 triliun.

Jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan kasus perusahaan asuransi jiwa BUMN lainnya yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018 dengan kerugian negara, juga berdasarkan hitungan BPK, mencapai Rp 16,8 triliun.

Besaran hitungan BPK ini beda tipis dengan proyeksi awal Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus Jiwasraya yakni Rp 17 triliun. Dari jumlah Rp 16,8 triliun itu, terdiri dari kerugian investasi di saham Rp 4,65 triliun dan reksa dana Rp 12,16 triliun.

Meskipun merupakan dua kasus yang berbeda, temuan pihak berwenang menyebut bahwa sejumlah nama terseret dalam dua mega skandal tersebut. Misalnya, Benny Tjokrosaputroatau Bentjok, Direktur Utama PT Hanson International Tbk (MYRX), dan Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Keduanya juga ditetapkan sebagai tersangka di kasus korupsi Asabri.

Permasalahan Jiwasraya (JS) dimulai dari manipulasi laporan keuangan. Proses rekayasa laporan keuangan JS telah dilakukan lebih dari satu dekade lalu.

Pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.

Pada 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang JS dan laporan aset investasi keuangan yang overstated dan kewajiban yang understated.

Pada Mei 2018 terjadi pergantian direksi. Setelah itu, direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.

Sementara kasus korupsi Asabri terjadi di perusahaan pengelola dana pensiun TNI dan Polri terkait manipulasi investasi dengan melibatkan pihak-pihak yang bukan merupakan manajer investasi dan tidak menggunakan analisis dalam penempatan dananya.

Mirip dengan yang terjadi di Jiwasraya, pada skandal korupsi Asabri, Bentjok, Heru dan komplotannya juga menempatkan dana ke saham-saham gorengan, ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi.

Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik. Sejumlah saham perusahaan publik yang masuk dalam pusaran manipulasi pasar ini termasuk Sugih Energy (SUGI), IPO saham Bumi Citra Permai (BCIP) dan Sekawan Intipratama (SIAP).

Kemudian saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai berpindah tangan dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.

Korupsi dengan skala besar ini membuat banyak pihak berang, hingga JPU menuntut hukuman mati atas keterlibatan salah satu tersangka di kasus Asabri yakni Heru Hidayat. Meskipun tuntutan tersebut ditolak hakim, ini merupakan kali pertama tersangka kasus yang terkait dengan transaksi dan manipulasi di pasar modal dituntut hukuman mati.

Sejumlah nama lain yang ikut terjerat dalam kasus Asabri termasuk Edwin Soeryadjaya yang merupakan putra sulung perintis Grup Astra dan eks Komisaris Utama PT Sinergi Millenium Sekuritas Betty. Selain itu kasus ini juga menyeret 10 Manajer Investasi (MI) atas keterlibatannya dalam transaksi dan pengelolaan dana.

Saksikan video di bawah ini:

Video: Korupsi Timah Bikin Ekonomi Bangka Belitung Rugi Rp 15 Triliun

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi melakukan penahanan terhadap dua tersangka kasus mega korupsi proyek KTP Elektronik (E-KTP) pada Kamis (3/2/2022).

Penahanan dilakukan terhadap mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia Isnu Edhy Wijaya dan  Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, yang berstatus PNS BPPT, Husni Fahmi.

"Tersangka ISE ( Isnu Edhy Wijaya) dan HSF (Husni Fahmi) dilakukan penahanan perkara pengadaan surat tanda penduduk elektronik (EKTP)," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/2/2022).

Untuk proses penyidikan KPK lebih lanjut, kata Lili, kedua tersangka akan ditahan selama 20 hari pertama, mulai 3 Februari sampai 22 Februari 2022.

Baca Juga: Kasus Korupsi E-KTP, KPK Telusuri Aset Milik Tersangka Paulus Tannos

"Mereka ditahan di Rutan Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur," ucap Lili

Pengembangan perkara korupsi E-KTP ini turut menetapkan eks Anggota DPR Miriam S Hariyani dan  Pemilik PT Cahaya Mulia Energi Konstruksi, Paulus Tannos.

Miriam diketahui sudah menjadi terpidana dalam kasus sebelumnya. Sehingga, KPK tak perlu melakukan penahanan. Sedangkan, Paulus belum dilakukan penahanan. Kekinian, diketahui Paulus berada di Singapura.

Keempatnya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001.

Mereka juga dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Baca Juga: KPK Lelang Mobil Mewah Milik Terpidana Korupsi e-KTP Markus Nari Rp550 Juta

Dalam kasus tersebut, total ada sembilan orang yang sudah dikirim KPK ke penjara terkait kasus korupsi e-KTP. Mereka adalah Irman, Sugiharto, Anang Sugiana Sudihardjo, Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Andi Narogong ,Made Oka Masagung; eks Anggota DPR Markus Nari.

Uskup Agung Jakarta Soroti Keserakahan di Indonesia hingga Kasus Korupsi Rp 270 Triliun

Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menyoroti keserakahan yang ada di Indonesia saat ini.

Dikatakannya bahwa saat ini Indonesia masih ada dalam 'perbudakan' diperbudak dalam keserakahan.

"Hari ini kita lihat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan bukan menyangkut saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Tetapi orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi, mengerikan," ujar Kardinal Suharyo pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024).

Uskup Agung lalu menyinggung soal pencucian uang saat ini ramai di media, angka mencapai Rp 270 triliun.

"Kemudian korupsi yang saat ini tengah ditangani dan tindak pidana pencucian uang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 270 triliun. Dan masih banyak yang lain," lanjutnya.

Akhirnya, kata Uskup Agung hulu dan hilir semua peristiwa ini adalah keserakahan. Dan Keserakahan itu bisa menyusup masuk di dalam sistem.

"Jadi bukan hanya keserakahan pribadi. Kalau keserakahan masuk ke dalam sistem ekonomi, politik budaya, sosial. Itu daya rusaknya sangat besar," sambungnya.

Itulah, kata Uskup Agung 'perbudakan' yang ia cermati di media massa saat ini.'

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) baru saja mendapat sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menarik ke belakang, sengkarut keuangan di asuransi pelat merah ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2004.

Lantas, bagaimana kronologi permasalahan Jiwasraya sejak 2024 hingga saat ini disanksi PKU? Berikut rangkumannya.

Ia menyebut ada inisial baru di mana sosok tersebut memiliki jabatan penting sebagai abdi negara. Awalnya, Iskandar menjelaskan peranan Helena Lim dan Harvey Moeis dalam kasus mega korupsi Rp271 triliun itu.

"Kami sebut Helena Lim itu hanya keset kaki. Di atas keset kaki itu sepatunya Harvey Moeis. Kemudian, Robert Bonosusatya alias RBS bertindak sebagai ‘kaos kaki’ yang berada di atas Harvey Moeis, suami Sandra Dewi. Nah yang jadi kaos kaki itu udah pasti RBS,” ujar Iskandar saat diundang dalam tayangan podcast bersama Uya Kuya.

Lebih jauh, Iskandar menyebut bahwa ada mantan pensiunan bintang empat berinisial B yang menjadi backingan dalam kasus ini.

“Ada oknum yang berkuasa, yang sampai punya bintang 4 di pundak, mantan pensiunan, gitu intinya. Berseragam karena dalam warna-warni kejahatan mereka tak akan berhitung kalau tidak pada aparat,” bebernya.“Habis itu ya biasanya mereka bergantung pada kelompok kuat yang solid atau terorganisir. Kita sebut saja oknum itu pernah berbintang empat inisial B itu aja dulu,” lanjutnya.Iskandar menyebut bahwa sosok inisial B tersebut sudah lama dicurigai mengorganisir proyek tambang timah ilegal sejak lama.

Ini orang yang kita duga mengorganisir sampai terjadi pembelian smelter, smelter ini kan dibeli dari orang-orang yang bener-bener kaya, tetapi pembelinya tidak benar-benar kaya, kan unik kasus ini,” pungkasnya.

Adapun saat ini kasus mega korupsi masih dalam tahap penyidikan.

Sandra Dewi kembali diperiksa oleh Kejagung sementara sang suami Harvey Moeis masih harus ditahan untuk mengulik dan membongkar tuntas kasus korupsi timah ini.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus korupsi Tata Niaga Komoditas Timah.

Tak tanggung-tanggung negara dirugikan hingga Rp 271 triliun.

Kasus korupsi ini melibatkan banyak kalangan dari penyelenggara negara, swasta, suami artis dan crazy rich PIK.

Total 16 orang jadi tersangka, termasuk suami artis Sandra Dewi Harvey Moeis.

Kasus ini pun tuai sorotan dari Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo

Pada konferensi pers Paskah 2024 di Gereja Katedral Jakarta, Minggu (31/3/2024), Kardinal Suharyo menyinggung soal keserakahan hingga kasus korupsi yang merugikan negara Rp 271 triliun.

Disanksi PKU Oleh OJK

Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) kepada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (PT AJS) pada Jumat, (13/9/2024). Keputusan ini dijatuhkan karena keduanya dinilai melanggar sejumlah ketentuan di bidang perasuransian.

"Setelah dikenakannya sanksi ini, maka PT AJS dan PT BIC dilarang melakukan kegiatan penutupan pertanggungan baru untuk seluruh lini usaha bagi perusahaan asuransi tersebut sejak 11 September 2024 sampai dengan perusahaan dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi PKU untuk seluruh kegiatan usaha ini," sebagaimana disampaikan dalam keterangan tertulis OJK.

Saksikan video di bawah ini: